Contoh kasus :

Sebuan perusahaan X, Karena kondisi perusahaan yang pailit, akhirnya memutuskan untuk melakukan PHK kepada karyawannya. Namun dalam melakukan PHK tersebut, perusahaan sama sekali tidak memberikan pesangon sebagaimana yang diatur dalam UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalam kasus ini perusahaan X dapat dikatakan melanggar prinsip kepatuhan hukum.

Hasil Analisa :

Dalam UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pada pasal 1 (satu) didefinisikan bahwa Pemutusan Hubungan Kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha. Mengenai hal ini dijelaskan pula pada pasal 150 : “Ketentuan mengenai pemutusan hubungan kerja dalam undang-undang ini meliputi pemutusan hubungan kerja yang terjadi di badan usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara, maupun usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.”

Pada pasal 156 (poin 1) juga dijelaskan: “Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.”

Pada contoh perusahaan X diatas, meskipun kondisi perusahaan pailit, perusahaan tersebut tetap harus membayar pesangon sesuai dengan Pasal 95 (poin 4) : “Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya.” Serta sesuai dengan pasal 165, “Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/ buruh karena perusahaan pailit, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).”

Perlu diperjelas bahwa pengaturan kompensasi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) berbeda untuk pekerja kontrak (terikat Perjanjian Kerja Waktu Tertentu-PKWT) dan pekerja tetap (terikat Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu-PKWTT). Dalam hal kontrak, pihak yang memutuskan kontrak diperintahkan membayar sisa nilai kontrak tersebut. Sedangkan bagi pekerja tetap, diatur soal wajib tidaknya pengusaha memberi kompensasi atas PHK tersebut.

Dalam PHK terhadap pekerja tetap, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon, dan atau uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima pekerja. Perlu dicatat, kewajiban ini hanya berlaku bagi pengusaha yang melakukan PHK terhadap pekerja untuk waktu tidak tertentu. Pekerja dengan kontrak mungkin menerima pesangon bila diatur dalam perjanjiannya.

Dalam hal perusahaan yang melakukan PHK tanpa ada kesalahan pekerja, dapat dilihat dari dua teori etika yaitu menurut etika deontologi dan menurut etika teleologi. Menurut etika deontology,tindakan PHK oleh perusahaan bukanlah tindakan yang baik secaramoral bagi pegawai karena membuat mereka kehilangan hak untuk mendapatkan kehidupan yang layak. Sedangkan menurut etika teleology, tindakan PHK itu baru dapat dinilai baik buruknya setelah diketahui tujuan dari PHK itu sendiri. Etika Utilitarisme maupun kebijaksanaan bisnis sama-sama bersifat teleologis, hal ini berarti bahwa keduanya selalu mengacu pada tujuan dan mendasarkan baik-buruknya suatu keputusan berdasarkan tujuan/akibat/hasil yang akan diperoleh. Hal ini berarti bahwa, dari sudut pandang utilitarisme, PHK dapat diterima apabila tujuannya baik, walaupun dengan cara yang tidak baik (PHK). Contoh, jika dengan melakukan pemutusan hubungan kerja 50% karyawan dapat menyelamatkan kondisi perusahaan dan dapat menjaga keberlangsungan kerja 50% karyawan sisanya, maka menurut etika utilitarisme hal ini adalah baik. Tetapi, jika tujuan karyawan mem-PHK 50% karyawannya untuk mengurangi cost dan mendapatkan untung sebesar-besarnya, maka menurut utilitarisme, hal ini tidaklah baik karena hanya menguntungkan perusahaan dan melanggar prinsip “mendatangkankeuntungan sebesar mungkin bagi sebanyak mungkin orang”. Kelemahan pandangan ini adalah hak sekelompok minoritas tertentu dikorbankan demi kepentingan pihak mayoritas, yang secara moral,hal ini bukanlah nilai yang utama.

Dari hal-hal yang telah diutarakan diatas, kesimpulan yang diperoleh adalah perusahaan X telah melakukan pelanggaran prinsip kepatuhan hukum dan tidak sesuai dengan prinsip etika bisnis.

Demikian

-ikhsan-

Sumber :